TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI,
“HATI BARU” DARI JAWA BARAT


Ditulis oleh:
Robi Gumilang, S. Hut
Calon Pengendali Ekosistem Hutan-TNGC


Pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di Bali beberapa waktu lalu, banyak yang mempertanyakan keseriusan Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan kawasan hutannya sebagai salah satu paru-paru dunia. Hutan Indonesia secara nyata memberikan sumbangan yang besar bagi ketersediaan daya dukung kehidupan masyarakat internasional, bukan hanya untuk rakyat Indonesia, sehingga kelestarian hutan Indonesia selalu menjadi sorotan dunia internasional dan bahkan menjadi salah satu syarat dalam pemberian bantuan atau kerjasama internasional.

Sebelum konferensi ini digulirkan, pemerintah telah mengambil beberapa langkah maju untuk menjaga kelestarian hutan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat dengan menunjuk kawasan hutan di Gunung Ciremai seluas + 15.500 ha sebagai kawasan taman nasional sesuai SK Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004, pada tanggal 19 Oktober 2004. Penetapan ini berdasarkan permintaan dari segenap masyarakat dan pemimpin daerah di dua kabupaten yang wilayahnya berbatasan dengan Gunung Ciremai yaitu Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, yang merasa khawatir dengan kondisi kerusakan hutan di Gunung Ciremai yang semakin hari kian memprihatinkan.

Kerusakan paling luas disebabkan pembukaan kawasan hutan di lereng Gunung Ciremai untuk dijadikan lahan pertanian, serta kegiatan eksploitasi lainnya seperti penambangan pasir liar dan pencurian kayu. Jika dilihat dari daerah Kuningan, kawasan hutan hutan yang dijadikan lahan pertanian telah mencapai ketinggian > 1.600 mdpl (LIPI, 2006). Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran terjadinya bencana seperti yang terjadi di daerah lain yang diakibatkan hilangnya kawasan hutan di daerah hulu seperti longsor di Karang Anyar-Jawa Tengah, atau banjir bandang Sungai Bengawan Solo. Bencana tersebut menelan korban jiwa dan merusak berbagai fasilitas penunjang kegiatan masyarakat yang ada. Jika dihitung dari segi materi, kerugian yang ditimbulkan mencapai milyaran rupiah.

TNGC hadir sebagai daya dukung kehidupan baru di wilayah Jawa Barat, melengkapi kawasan pelestarian alam yang telah ada, seperti Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGPP), Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHH), dll. Penetapan TNGC bukan berarti tanpa halangan. Dengan ditetapkan sebagai taman nasional, maka beberapa kegiatan perekonomian di daerah sekitar kawasan memang dibatasi atau dihilangkan.

Beberapa pihak yang menolak penetapan TNGC, merasa mata pencaharian mereka kini direbut. Berdasarkan penetapan kawasan, beberapa lahan pertanian di lereng Gunung Ciremai memang termasuk dalam kawasan TNGC. Juga karena sebagian lahan dulunya merupakan program PHBM antara masyarakat sekitar hutan dengan Perum Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan Gunung Ciremai sebelumnya.

Untuk menciptakan kesepahaman dengan semua pihak, dibutuhkan penanganan yang serius dari berbagai pihak, diantaranya pemerintah daerah, tokoh masyarakat, lembaga swadaya, dan pihak TNGC sendiri untuk memberikan pengertian dan penjelasan tentang betapa pentingnya penetapan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi taman nasional. Hal ini juga harus disertai dengan pembuatan berbagai program yang tepat guna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah sekitar kawasan TNGC, baik itu program dari TNGC atau pemerintah dan lembaga lain yang dapat memperluas dan meningkatkan sektor perekonomian yang dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam yang ada di TNGC.

Mengapa TNGC dikatakan daya dukung kehidupan yang baru? Dalam hadits, Rasulullah Muhammad SAW menerangkan bahwa organ terpenting dari tubuh manusia adalah hati. Apabila hati ini rusak, akan mempengaruhi organ-organ yang lain. Hutan bisa diibaratkan sebagai hati, yang mengolah berbagai unsur yang ada di bumi ini dalam bentuk interaksi antar komponen-komponen penyusunnya untuk menghasilkan unsur-unsur pendukung kehidupan seperti air, udara, sumber protein, dll.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, TNGC memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, baik dari jenis flora ataupun fauna, dimana beberapa jenis fauna langka yang statusnya sangat dilindungi, baik oleh pemerintah atau dunia internasional. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), surili (Presbytis comata), macan kumbang (Panthera pardus), merupakan jenis satwaliar yang sangat langka dan dilindungi. Dari penemuan ini juga muncul opini bahwa TNGC dibentuk hanya untuk melindungi satwa-satwa tersebut, bukan untuk kepentingan masyarakat. Apakah betul seperti itu?

Seperti yang telah dijelaskan diatas, hutan TNGC merupakan bentuk dari sebuah ekosistem. Hutan menghasilkan oksigen, air, atau produk lainnya merupakan hasil dari interaksi antar komponen-komponen penyusun ekosistem tersebut. Komponen ekosistem terbagi dari dua bagian yaitu biotik (makhluk hidup; manusia, tumbuhan, satwa,mikroorganisme) dan faktor abiotik (tanah, air, udara, topografi). Interkasi tersebut jika berlangsung seimbang, maka produk yang dihasilkan pun akan tetap tersedia. Namun jika salah satu komponen ekosistem ini hilang, keseimbangan interaksi ini akan terganggu dan akan menghambat produksi unsur-unsur yang dibutuhkan tadi. Jika unsur-unsur tersebut berkurang atau bahkan lenyap, maka kelangsungan hidup dari masyarakat pun akan terganggu, dan itu bukan hanya masalah ekonomi semata. Sehingga penetapan kawasan TNGC bukan hanya sekedar melindungi beberapa jenis satwa, namun lebih jauh adalah untuk kelangsungan hidup masyarakat.

Apakah setelah Gunung Ciremai setelah menjadi taman nasional tidak memiliki nilai ekonomi? Potensi nilai ekonomi berupa jasa lingkungan yang ada dan dihasilkan oleh TNGC sebenarnya lebih besar dari nilai ekonomi fisik yang ada saat ini seperti kayu, lahan pertanian atau hasil buruan, serta bersifat berjangka panjang untuk menunjang keberlanjutan kegiatan ekonomi masyarakat.

Pengelolaan TNGC mengacu pada sistem pengelolaan taman nasional pada umumnya yaitu sistem zonasi, terdiri dari zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Di zona pemanfaatan, kegiatan perekonomian masih bisa berjalan seperti wisata alam terbatas, penelitian, pendidikan, dan bahkan kegiatan pertanian namun dalam kondisi yang sangat khusus.

Potensi wisata alam disekitar TNGC memiliki nilai ekonomi tinggi jika dikelola dengan baik. Obyek-obyek wisata tersebut diantaranya obyek wisata Lembah Cilengkrang, Telaga Remis, Situ Cibulan, jalur pendakian, Bumi Perkemahan Paniis dan Panteneun, Situ Sangiang, dll. Jika dinilai dengan materi, mungkin sumber pendapatan dari wisata terbatas tadi tidak sebanding hasil yang didapat jika hutan diambil kayunya, digunakan tanahnya untuk lahan pertanian, atau memburu satwaliar yang ada di TNGC. Namun berapa nilai air, udara, serta kenyamanan yang diberikan TNGC bila hutannya tetap lestari? Sangat tidak terhitung.

TNGC merupakan hati baru bagi masyarakat Jawa Barat, bahkan umat manusia. Jika hati ini tetap dijaga, maka kehidupan masyarakat pun akan tetap terjaga. Hutan memang memiliki kemampuan untuk memulihkan kondisi lingkungannya terhadap kerusakan yang terjadi. Namun bila kerusakan tersebut sudah melampaui kemampuan regenerasinya, maka lambat laun hati itu akan rusak, dan bisa menyebabkan “kematian”, bagi hutan itu sendiri atau komponen dari ekosistemnya, salah satunya adalah kita, manusia. Pemanfaatan yang bijak dapat membawa kesejahteraan, bukan hanya kita tetapi juga makhluk yang lain, sesuai dengan takdir manusia yaitu menjadi khalifah di bumi ini. (robi)

0 Response to " "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel

Iklan Bawah Artikel